Jumat, 21 Juni 2013

Self Directed Learning



Pembelajaran mandiri

       Dalam pembelajaran modern dikenal aspek pembelajaran yang dapat menyeimbangkan segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Segi penguasaan materi ditunjang dari kepercayaan diri siswa, kedisiplinan dan penerapan pembelajaran Self Directed Learning (Pola pembelajaran mandiri siswa).
Penerapan Konsep Belajar Mandiri (Self-directed Learning) sebenarnya berakar dari konsep pendidikan orang dewasa. Namun demikian berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli seperti Garrison tahun 1997, Schillereff tahun 2001, dan Scheidet tahun 2003 ternyata belajar mandiri juga cocok untuk semua tingkatan usia. Dengan kata lain, belajar mandiri sesuai untuk semua jenjang sekolah baik untuk sekolah menengah maupun sekolah dasar dalam rangka meningkatkan prestasi dan kemampuan siswa. (http://www.nwrel.org/planing/reports/self-direct/index.php )

        Belajar Mandiri (Self-directed learning) yang ada di sisi sebelah kiri dari model, mengacu pada karakteristik proses belajar mengajar, atau apa yang kita dikenal sebagai faktor eksternal dari si siswa. Di sini mengacu pada bagaimana proses pembelajaran itu dilaksanakan. Siswa mandiri (LearnerSelf-Direction) yang ada di sebelah kanan dari model, mengacu pada individu yang melakukan kegiatan belajar. Termasuk di dalamnya yaitu karakteristik kepribadian siswa, atau sering kita kenal dengan faktor internal dari individu yang bersangkutan. Jika kedua hal tersebut (Self-directed learning dan Learner Self-Direction) dapat tercipta dalam proses pembelajaran, maka individu dapat memiliki kemandirian dalam belajar (self-direction in learning). 

         Menurut seorang ahli psikologi, pembelajaran mandiri adalah mekanisme yang dapat mengatur pemikiran, perasaan dan kelakuan seseorang secara mandiri (Santrock 2009). Dengan demikian Kemandirian belajar (self-direction in learning) dapat diartikan sebagai sifat dan sikap serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang dijumpainya di dunia nyata.

        Pengertian SDL bervariasi menurut pendapat beberapa pakar. Knowles (1975, disitasi oleh O’Shea, 2003) mendefinisikan SDL adalah sesuatu proses dimana seseorang memiliki inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk menganalisis kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, mengidentifikasi sumber–sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai dan mengevaluasi hasil belajarnya sendiri. Merriam dan Caffarella (1991) mendefinisikan SDL adalah sesuatu metode belajar di mana pelajar mempunyai tanggung jawab yang utama dalam perencanaan, pelaksanakan dan penilaian hasil belajar.

       Brockett dan Hiemstra (1991) mengemukakan beberapa pernyataan untuk meluruskan pandangan mengenai SDL yaitu, SDL bersifat kontinuitas, tidak benar SDL mengambarkan suatu proses belajar dalam isolasi, tidak benar SDL menghabiskan lebih banyak waktu daripada kegunaannya, dan tidak benar aktivitas SDL hanya terbatas pada membaca dan menulis.
Ada beberapa variasi pengertian belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan Abdullah (2001:1-4) sebagai berikut:

1. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya) (Bolhuis; Garrison).

2. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa. Motivasi memandu dalam mengambil keputusan, dan kemauan menopang kehendak untuk menyelami suatu tugas sedemikian sehingga tujuan dapat dicapai (Corno; Garrison).

3. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan bermanfaat baginya (Lyman; Morrow, Sharkey, & Firestone).

4. Belajar Mandiri “ironisnya” justru sangat kolaboratif. Siswa bekerja sama dengan para guru dan siswa lainnya di dalam kelas (Bolhuis; Corno; Leal). 

5. Belajar Mandiri mengembangkan pengetahuan yang lebih spesifik seperti halnya kemampuan untuk mentransfer pengetahuan konseptual ke situasi baru. Upaya untuk menghilangkan pemisah antara pengetahuan di sekolah dengan permasalahan hidup sehari-hari di dunia nyata (Bolhuis; Temple & Rodero).

         Self-directed learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners). Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management ( manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi, dan mengatur strategi belajarnya). 

Burt Sisco dalam Hiemstra (1998: membuat sebuah model yang membantu individu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar, yaitu:
 (1) preplanning (aktivitas sebelum proses pembelajaran),
 (2) menciptakan lingkungan belajar yang positif,
 (3) mengembangkan rencana pembelajaran, 
 (4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai,
 (5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring, dan
 (6) mengevaluasi hasil pembelajar individu.
Sisco menggambarkan model tersebut di atas dalam bagan sebagai berikut:

 Model Pembelajaran individual (Sumber: Hiemstra. 1998) 

          Pembelajaran mandiri diterapkan sebagai wujud pengukuran siswa terhadap kemampuan diri siswa pribadi, dimana siswa harus mengenali dirinya secara privasi hingga dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dan tercipta solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pola pembelajaran ini juga mengantarkan siswa pada pembentukan karakter tanggung jawab serta pendewasaan diri sehingga dapat mengatasi ketergantungan terhadap orang lain.

       Penerapan pembelajaran mandiri pernah diteliti oleh Uwes Anis Chaeruman (Staff Ahli Teknologi Informatika PUSTEKKOM DEPDIKNAS dengan studi kasus "Pendidikan Guru Model Kualifikasi Dengan Sistem Belajar Mandiri Yang Setara Dengan Pendidikan D2 Dan D3 Di Wilayah Banten (Dalam Jurnal TEKNODIK No.21/XI/TEKNODIK/Agustus/2007). Dari penelitian tersebut diperoleh hasil penelitian bahwa salah satu langkah untuk meningkatkan kualifikasi seseorang baik itu peserta didik maupun pendidik dalam penguasaan kompetensi pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis kemandirian (Self Directed Learning). 

         Sedangkan penelitian mengenai keinginan siswa untuk menyontek dapat dideskripsikan dalam skripsi yang berjudul "Hubungan antara konsep diri dengan intensi menyontek pada siswa SMA Negeri 2 Semarang" (Studi kasus penelitian skripsi Unin Setyani, Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang:2007). Dari hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa adanya pengaruh negatif antara konsep diri dengan intense menyontek artinya semakin tinggi tingkat kepercayaan diri dan kemampuan siswa (konsep diri yang baik) maka intensitas (keinginan menyontek akan rendah).

           Dari kajian beberapa penelitian di atas maka dapat dianalogikan bahwa tindakan menyontek adalah tindakan yang mencerminkan ketidaksiapan siswa dalam mengerjakan tugas maupun soal ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru yang disebabkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan yang dimiliki siswa tersebut, sehingga memberikan maupun mencontoh jawaban baik jawaban dari teman atau melalui media pendukung seperti buku mata pelajaran, kertas contekan, dan lain sebagainya. Guna meminimalisasi tindakan menyontek tersebut, maka solusi kelompok berbasis kooperatif sebagai bagian dari pembelajaran mandiri menjadi jawabannya. 

      Pembelajaran berbasis kemandirian artinya siswa tidak hanya menjadi receiver (objek pembelajaran) saja. Namun, siswa sekaligus menjadi subjek pembelajar yang dapat belajar mandiri baik di sekolah maupun di lingkungan luar sekolah melalui peningkatan kepercayaan diri untuk memperbanyak membaca dan berlatih menjawab soal akuntansi. Sehingga, dengan pembelajaran kooperatif kelompok berbasis kemandirian diharapkan dapat meminimalisasi keinginan siswa untuk menyontek pada saat mengerjakan tugas maupun ulangan atau ujian akuntansi yang diberikan oleh guru mata pelajaran akuntansi.




           Self Directed Learning (SDL) adalah suatu model di mana antara proses dan kontrol siswa memiliki kaitan dan interaksi yang sangat erat satu sama lainnya. SDL digambarkan sebagai suatu proses di mana individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam mendiagnosis apa yang diperlukan dalam pembelajarannya, merumuskan target belajar, mengidentifikasi manusia dan sumber daya material untuk belajar, memilih dan mengimplemetasikan sesuai dengan strategi pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar.   
            
           Menurut Knowles (dalam Zulharman, 2008), SDL didefinisikan sebagai sesuatu proses di mana seseorang memiliki inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk menganalisis kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, mengidentifikasi sumber–sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai serta mengevaluasi hasil belajarnya sendiri. Ricard (2007) mendefinisikan SDL adalah proses di mana siswa dilibatkan dalam mengidentifikasi apa yang perlu untuk dipelajari dan menjadi pemegang kendali dalam menemukan dan mengorganisir jawaban. Hal ini berbeda dengan belajar sendiri di mana guru masih boleh menyediakan dan mengorganisir material pendidikan, tetapi siswa belajar sendiri atau berkelompok tanpa kehadiran guru. Selain itu Merriam dan Caffarela (dalam Zulharman, 2008) menyatakan SDL sebagai suatu metode belajar di mana pelajar mempunyai tanggung jawab yang utama dalam perencanaan, pelaksanakan dan penilaian hasil belajar.

           Beberapa kerangka kerja menggambarkan SDL sebagai proses memusatkan pada otonomi siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan pada kerangka kerja yang lain menekankan pada atribut pribadi, memusatkan pada kemampuan siswa dalam mengatur proses pembelajaran. Tingkatan yang dibutuhkan dalam self-direction dapat berubah dalam konteks yang berbeda (Song & Hill, 2007).

          Secara sederhana, proses dalam SDL dinyatakan sebagai kumpulan tindakan yang sistematis dengan tujuan tertentu. Proses dari SDL mencakup apa yang diinginkan dari pembelajaran (individual learning needs), karakteristik belajar (individual learning characteristics), dan aktivitas belajar mandiri (self-directed learning activities) untuk mencapai learning satisfaction (Read, 2000).

          Dalam kajian SDL, pelajar harus mengerti proses dalam istilah antara lain :

a) proses ditemukan oleh dirinya, baik dalam lingkup formal maupun informal serta di bawah kendalinya,
b) proses pendidikan secara keseluruhan tidak semata-mata di bawah kendalinya, 
c) hubungan antara dirinya sebagai pelajar dengan seting dan sumber belajar selama proses belajar bersifat kompleks (Ricard, 2007). 

          Brockett dan Hiemstra (dalam Ricard, 2007) menunjukkan self-direction pada remaja adalah proses belajar dengan fase yang spesifik dan dibagi menjadi dua dimensi yang saling berhubungan. Pertama, suatu proses di mana pelajar diasumsikan memiliki kewenangan utama dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi proses belajar. Kedua, proses pembelajaran yang mengarah ke pelajar yang mandiri (learner self-direction).

        Salah satu elemen dalam proses pembelajaran yang dapat menggambarkan dengan baik perkembangan pembelajaran adalah aktifitas belajar (Ricard, 2007). Keterlibatan perkembangan merupakan suatu bentuk keterlibatan individu terutama pelajar dan fasilitatornya. Perkembangan ini dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan kemampuan partisipan dalam memperoleh pengalaman belajar. Pengetahuan mencakup apa yang harus dilakukan dalam pembelajaran, informasi yang dibutuhkan serta pembelajaran yang lain yang terkait dengan pembelajaran yang dilakukan. Sikap yang ditunjukkan oleh seseorang dalam proses SDL sangat penting di mana dimasukkan ke dalam bagian komponen proses pembelajaran. Sikap yang baik ataupun buruk akan memberikan hasil yang sesuai bagi kelangsungan proses pendidikan. Kesuksesan partisipan tidak hanya dilihat dari perspektif apa yang dipercaya, dirasakan dan diketahui tetapi juga apa yang dapat mereka lakukan atau dengan kata lain kesuksesan dalam pembelajaran juga ditentukan oleh kemampuan atau skill yang dimiliki oleh partisipan baik pelajar dan fasilitatornya.

           Secara garis besar, proses pembelajaran dalam SDL dibagi menjadi tiga yaitu planning, monitoring, dan evaluating (Song & Hill, 2007). Pada tahap perencanaan (planning), siswa merencanakan aktivitas pada tempat dan waktu di mana siswa merasa nyaman untuk belajar. Siswa juga merencanakan komponen belajar yang diinginkan serta menentukan target belajar yang ingin dicapai. Pada tahap monitoring, siswa mengamati dan mengobservasi pembelajaran mereka. Banyak tantangan belajar yang dapat ditemukan oleh siswa ketika siswa memonitor pelajaran mereka sehingga akan menjadikan proses belajar yang lebih bermakna.

             Dalam tahap evaluasi, siswa mengevaluasi pelajaran dan pengetahuan yang dimiliki kemudian guru memberikan umpan balik serta mengkolaborasikan pengetahuan siswa yang satu dengan yang lainnya untuk mencapai suatu pemahaman yang benar. Guru tidak dapat mengevaluasi siswa secara langsung karena keragaman dari proses belajar masing-masing siswa. Guru membutuhkan waktu untuk menyiapkan evaluasi dan umpan balik bagi masing-masing siswa. Di samping juga karena ketidakpastian siswa dalam mengevaluasi pelajaran mereka sendiri dan pengetahuan yang dianut. Oleh karena itu dalam SDL, proses pembelajaran bersifat fleksibel namun tetap berorientasi pada planning, monitoring, dan evaluating bergantung pada kemampuan siswa dalam mengelola pembelajaran sesuai otonomi yang dimilikinya.

           Dari penelitian yang dilakukan oleh Mok dan Lung (Mok, 2005) ditemukan tiga fenomena utama dalam pembelajaran mandiri (self-directed) yaitu manajemen sumber, melihat perlunya bantuan, dan kontrol pelajar. SDL menuntut pelajar untuk dapat memanajemen sumber-sumber belajar yang ada sesuai dengan kebutuhan dan konteks pembelajaran. Dengan SDL maka pelajar akan berusaha keras memecahkan masalahnya, jika dapat proses ini terjadi kebuntuan maka pelajar dapat bertanya kepada teman sebaya atau pengajar kemudian mengekplorasi dan menginvestigasi solusi dan perspektif lain yang diterima.

Menurut Hiemstra (dalam Sunarto, 2008), langkah-langkah pembelajaran SDL terbagi menjadi 6 langkah yaitu:

(1) preplanning (aktivitas awal proses pembelajaran)

(2) menciptakan lingkungan belajar yang positif

(3) mengembangkan rencana pembelajaran

(4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai

(5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring (6) mengevaluasi hasil belajar individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar